Dari Secuil Kertas ke Kunci Rumah: Perjalanan Siti Mewujudkan Mimpinya
Siti duduk di teras kontrakan kecilnya di daerah Pulomas. Matahari sore menyelinap lewat celah pintu pagar besi yang mulai berkarat, menyorot ke secangkir teh yang mulai dingin. Matanya pelan-pelan menatap sebuah papan yang tertempel oleh banyak kertas-kertas kecil, merangkum mimpi-mimpinya. Salah satu kertas di sana tertulis rapi dengan tangannya:

Sudah hampir lima tahun Siti dan suaminya, Arief, tinggal di kontrakan kecil ini. Hidup mereka sederhana tapi tidak pernah kosong dari mimpi. Di dinding dapur, tertempel kalender penuh coretan pengeluaran, reminder cicilan, dan sesekali kutipan motivasi yang Siti tulis sendiri. Setiap malam setelah makan malam, Siti akan duduk di meja kecil, membuka YouTube dan TikTok, menonton home tour rumah-rumah mungil dengan dapur lapang, jendela besar, dan ruang tamu berkarpet lembut. Ia membayangkan tempat itu akan menjadi miliknya suatu hari nanti.
“Bayangkan kita punya dapur sendiri, Mas… tempat kamu bisa bikin kopi pagi-pagi,” katanya suatu malam sambil menyandarkan kepala di bahu Arief.
Arief hanya tersenyum, lalu mengangguk. “Dan kamu bisa tanam rosemary di jendela.”
Mereka menabung. Sedikit demi sedikit. Siti juga mulai mengambil pekerjaan freelance online saat waktu senggang, sementara Arief bekerja remote untuk perusahaan teknologi. Setiap rupiah dicatat. Tapi mencari rumah pertama tidak pernah mudah.
Yang sesuai budget, seringkali jauh. Yang dekat dengan pusat kota, harganya di luar jangkauan. Mereka sempat hampir menyerah. Siti bahkan pernah menangis diam-diam saat agen properti mengabari bahwa rumah yang mereka incar di Cempaka Putih sudah terjual hanya dua hari sebelum mereka bisa survei.
Tapi suatu malam, saat sedang scroll di ponsel, Siti melihat iklan sebuah rumah cluster baru di Utan Kayu. Lokasinya cukup dekat dengan Rawamangun dan Salemba—tempat-tempat yang akrab baginya. Ia ingat jalanan kecil yang dulu ia lewati saat kuliah, dan tiba-tiba, ada rasa hangat yang ia tak bisa jelaskan.
“Mas, liat deh ini. Dekat dari kantor kamu juga. Gak terlalu besar, tapi… kayaknya cocok buat kita.”
Mereka akhirnya menjadwalkan survei.
Hari itu mendung, dan daun-daun di halaman cluster itu masih basah oleh hujan pagi. Siti berdiri cukup lama di halaman depan rumah itu. Tidak banyak yang istimewa dari luar. Tapi ada angin sejuk yang lewat, suara anak kecil tertawa bermain sepeda, dan suasana yang terasa begitu… akrab.
“Kayaknya ini, deh,” gumamnya.
Arief mengangguk, lalu menggenggam tangannya. “Kalau kamu yakin, aku juga yakin.”
Prosesnya tidak langsung mudah. Mereka harus menyusun dokumen, mengurus KPR, dan berkonsultasi soal legalitas. Tapi kali ini, Siti tidak merasa sendirian. Ia mulai mencari informasi lebih banyak, bertanya pada teman-teman, bahkan konsultasi gratis ke marketplace properti yang ia temukan—Groperti.
Dua bulan kemudian, Siti berdiri di tengah ruang tamu rumah barunya. Masih kosong. Belum ada perabot. Tapi jendela besar itu benar-benar ada, dan sinar pagi menerobos masuk dengan lembut. Ia menarik napas panjang. Tangannya gemetar saat memegang kunci. Pelan-pelan, Siti membuka pintu rumah, lalu masuk ke rumah, melihat sekelilingnya dengan mata yang berbinar. Mulutnya tidak pernah berhenti mengucap syukur atas apa yang berhasil ia capai.
Malam hari setelah beres-beres sedikit, satu barang yang ia bawa ke rumah barunya sebelum rumah terisi dengan perabotan adalah papan impiannya. Dengan bangga, Siti mengambil kertas kecil dan ia mencentang salah satu mimpi yang berhasil ia capai. Tak lupa, Siti juga berhasil mengambil gambar rumah impiannya dengan Polaroid kesayangannya. Arief pun ikut tersenyum melihat kertas kecil di papan itu mulai terceklis.

Di pagi harinya, Siti dan Arief mulai beraktivitas dengan penuh semangat. Siti menanam rosemary di jendela dapur. Arief membuat kopi setiap pagi sambil mendengarkan podcast. Mereka juga excited mengisi perabotan di rumah mereka. Di halaman depan, mereka menaruh bangku kayu tempat mereka bisa duduk sore-sore seperti saat masih di kontrakan dulu—bedanya, kini mereka duduk di rumah milik mereka sendiri.
Di rumah itu, mimpi kecil seorang perempuan yang teliti, mandiri, dan tak pernah menyerah—akhirnya punya tempat untuk tumbuh.
Kini, Giliran Kamu Punya Rumah Seperti Siti
Rumah pertama bukan hanya tentang tembok dan atap—tapi tentang harapan, perjuangan, dan tempat di mana hidup dimulai dari awal yang baru. Seperti Siti, mungkin kamu juga sedang menyimpan mimpi itu dalam catatan kecil atau di sudut hati yang belum sempat bersuara.
Groperti hadir bukan hanya sebagai marketplace, tapi sebagai teman perjalananmu mencari rumah yang pas—bukan cuma di harga, tapi juga di rasa.
👉 Lihat listing rumah terbaru di Groperti
📍 Jelajahi rumah-rumah penuh cerita lainnya di groperti.com
💬 Konsultasi gratis via WhatsApp
🔍 Filter berdasarkan lokasi, anggaran, dan gaya hidup kamu
❤️ Karena setiap alamat, menyimpan cerita.#SebuahAlamatSebuahCerita
Bersama Groperti, rumah pertama bukan lagi sekadar impian.